Selasa, 07 Desember 2010

Ap Itu HUKUM ???



Sahabat pembaca yang baik, kali ini penulis terlebih dahulu akan mengajak pembaca untuk menelaah lebih jauh tentang ‘apa sih sebenarnya hukum itu?’, mungkin dari beberapa kalangan teman pembaca, sebagian diantaranya berpendapat bahwa mempelajari atau mengetahui hukum itu sangatlah rumit, atau bahkan menganggap bahwa hukum itu suatu momok yang menakutkan, terlebih jika sudah terlibat masalah hukum. Oleh karenanya sering mengabaikan tentang arti penting untuk mengetahui hukum, lalu apa yang terjadi jika kita tidak mengetahui hukum?
apakah hanya mahasiswa atau sarjana hukum saja yang wajib tahu mengenai hukum? jawabannya adalah tidak. Oleh karena itu, penulis ingin sekali berbagi pengetahuan, bahkan mengajak anda untuk berdiskusi mengenai hukum, kali ini penulis batasi hanya tentang perkenalan tentang apakah sebenarnya hukum itu?
Sebelum kita membahas tentang topik yang terkait dengan Hukum lainnya. Hmm..oke mari kita mulai, jika kita melihat berita baik itu dari media massa atau elektronik seperti televisi, dll, tentu mata kita tidak pernah luput akan kata-kata ‘Hukum’.
Contohnya, pasti kita tahu akan permasalahan artis Indonesia, Luna Maya yang terlibat masalah hukum terkait isi twitternya kepada pekerja infotainment? belum lagi sebelumnya heboh tentang kasus yang dialami Ibu Prita terkait isi e-mailnya terhadap RS. Omni. Semua hal yang berkaitan tentang hukum itu perlu dan wajib untuk diketahui bagi kita semua mulai dari berbagai latarbelakang kependidikan apapun maupun yang non pendidikan.
  • HUKUM
  • Pengertian Hukum 
    Hukum merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan masyarakat dan harus ditegakkan apabila kita menginginkan suatu kehidupan yang damai dan tentram. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa hukum merupakan suatu upaya perbaikan, setidak-tidaknya bagi pelaku kejahatan. Dalam kehidupan masyarakat kita juga jumpai ada seseorang melakukan kejahatan, membuat keresahan dan ketidaknyamanan, Padahal, Apabila kita pahami bahwa sesungguhnya orang yang berbuat baik hakikarnya adalah untuk dirinya sendiri. Begitupula sebaliknya, sesungguhnya bagi orang yang berbuat jahat, kejahatan itu akan menimpa dirinya sendiri. 

  • Mengapa harus demikian?
Begini, pertama status kita disini selain dari apa yang kita alami sekarang, sebenarnya kita memiliki status yang lain yaitu status kita sebagai warga Negara, baik itu misal warga Negara Amerika, India, dan kita sebagai warga Negara Indonesia.
  • Lalu apa kaitannya dengan Hukum??
Sebagai warga negara Indonesia, kita tentu hidup di negara ini haruslah wajib dan taat untuk menaati Hukum (nah pasti mau tidak mau kita wajib menaati hukum, jika tidak, kita akan terkena sanksi hukum), contoh: Dalam UUD 1945 perubahan ke III, pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
  • Lalu apa artinya jika kita hidup di negara hukum?
Begini, sebelum menjawab pertanyaan tersebut diatas, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa sebenarnya definisi dari hukum itu. Mari kita mulai dari definisi dari beberapa Sarjana Hukum Dunia dan beberapa Sarjana Hukum di Indonesia yang diakui kepakarannya;
Definisi Hukum;
  • Aristoteles:
Particular law is that which it’s community lies down and applies to its on member.
Artinya:
Hukum yang khusus adalah hukum yang ditemukan dan diterapkan dilaksanakan di dalam suatu masyarakat tertentu, jadi hukum yang universal adalah hukum yang umum.
  • Cicero (Romawi):
Hukum adalah akal tertinggi yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
  • Hugo Grotius (Belanda):
Hukum adalah aturan tentang tindakan moral yang mewajibkan apa yang benar.
  • Thomas Hobbes (Inggeris):
Hukum adalah perintah-perintah dari orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dan memaksakan perintahnya kepada orang lain.
  • van Vollenhoven:
Hukum adalah gejala sosial dalam pergaulan hidup yang saling bentur-membentur tanpa henti-hentinya dengan gejala-gejala sosial lainnya.
  • Phillips S. James:
Hukum adalah suatu bentuk ketetapan yang digunakan untuk pedoman tingkah laku masyarakat dan mempunyai sifat memaksa yang diterapkan masyarakat.
  • Hazairin (Indonesia):
Adat adalah renapan (endapan/sari) kesusilaan dalam masyarakat, hukum berurat pada kesusilaan.
  • E. Utrecht:
Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang bersangkutan, dan seharusnya ditaati oleh anggota msyarakat yang bersangkutan, oleh karena itu pelanggaran terhadap petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah masyarakat itu
  • van Kan:
Hukum adalah serumpun peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk mengatur dan melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.
  • Carl von Safigny:
Das Recht wird nicht gemacht, aber ist und wird mit dem Volke
Artinya:
Hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh bersama masyarakat.
  • A.H. Post:
Est gibt kein volk der erde, welches nicht die anfange eines rechtes bessase.
Artinya:
Tidak ada suatu bangsa yang mempunyai hukumnya sendiri.
  • Imanuel Kant:
Noch suches in die juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht.
Artinya:
Hukum itu banyak seginya dan meliputi segala macam hal, maka tak mungkin orang dapat membuat definisi apa sebenarnya hukum itu.
  • van Apeldoorn:
Pergaulan hidup sebagai masyarakat yang teratur adalah penjelmaan hukum, adalah sesuatu dari hukum yang terlihat dari luar.
  • Mochtar Kusumaatmadja (Indonesia):
Hukum adalah asas-asas atau norma-norma yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat mencakup pula lembaga-lembaga atau institusi dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.
Nah, sedikit demi sedikit telah diketahui apa sebenarnya hukum itu, tampak dari beberapa definisi yang disebutkan oleh beberapa Sarjana Hukum diatas memperlihatkan bahwa betapa pentingnya akan keberadaan hukum itu.
Terlihat jelas pula definisi yang disebutkan oleh Sarjana Hukum dari Unpad, Prof. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. yang memberikan definisi tentang hukum diatas, yaitu:
Hukum adalah asas-asas atau norma-norma yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat mencakup pula lembaga-lembaga atau institusi dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.
Nah, mari kita telaah lebih jauh, berdasarkan kuliah Pengantar Ilmu Hukum dan berdasar literatur yang penulis baca, didapat bahwa kita sebagai manusia pada dasarnya adalah makhluk yang suka bermasyarakat (Aristoteles), oleh karenanya manusia tersebut berinteraksi satu dengan yang lainnya. Manusia adalah makhluk individu yang memiliki kepentingan. Lalu bagaimana jika antara manusia yang satu dengan yang lainnya bertemu dan berkumpul menjadi suatu masyarakat? tentunya akan terjadi suatu kepentingan individu yang berbeda, dan jika terjadi benturan kepentingan maka dibutuhkan suatu aturan yang dapat mengatur kepentingan tiap individu tersebut, maka dibuatlah hukum.
  • Lalu apakah tujuan dibentuknya hukum secara nyata pada situasi saat ini?
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Ketertiban merupakan tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Ketertiban merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat yang teratur, di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya.
  • Lalu apakah hukum ada macamnya?
Ada 3 macam hukum, yaitu;
  1. Ius Constitutum, merupakan hukum positif, yaitu hukum yang berlaku pada saat ini / hukum yang berlaku pada waktu tertentu. jika dicontohkan, jika anda tidak memakai helm pada saat berkendara motor dijalan, kemudian anda diberhentikan oleh Polisi lalu lintas, maka anda tidak bisa melawan. Karena Undang-Undang (UU) no 22 th 2009 Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan telah menjadi hukum positif, bagi siapa yang melanggar pasti akan dikenai sanksi, dan polisi menjerat anda berdasarkan UU tersebut.
  2. Ius Constituendum, merupakan hukum yang diinginkan atau hukum yang akan datang.
  3. Hukum Alam, merupakan hukum yang berlaku secara universal dan abadi.
  • Lalu apakah yang dimaksud norma pada definisi diatas?
Norma merupakan perintah hidup yang mempengaruhi tingkah laku yang ada di dalam masyarakat, norma berisi 2 hal yaitu perintah dan larangan, dan kegunaan norma adalah untuk memberikan petunjuk pada manusia tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari, tujuan norma untuk memelihara dan menjamin kepentingan warga masyakarat dan ketentraman dalam masyarakat, dapat dipertahankan dengan sanksi.
  • Lalu apakah peraturan yang mengikat perbuatan Luna Maya seperti yang disebut diatas juga tergolong norma?
Betul, dalam hal peraturan yang mengikat perbuatan Luna Maya adalah pasal 27 ayat 3 juncto pasal 45 ayat 1 UU ITE jo pasal 310, 311, 315 dan 335 KUHP, UU tersebut mengandung norma hukum yang berarti peraturan yang dibuat penguasa negara, bersifat heteronom yang berarti dapat dipaksakan oleh kekuasaan dari luar yaitu negara. Oke selanjutnya mari kita lihat pertanyaan lainnya.
  • Lalu mengapa Hukum itu mengikat dan dimana kita dapat menemukan hukum?
pertanyaan diatas terjawab dengan melihat sumber hukum itu sendiri, yaitu ada 2 sumber hukum yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materil yang diuraikan seperti dibawah ini:
  1. sumber hukum formil, yaitu menjelaskan kepada kita dimana saja kita dapat menemukan ketentuan-ketentuan hukum, untuk dapat mengetahui apa yang menjadi hukum positif. Sumber hukum formil terdiri/meliputi ;
1. a. Sumber hukum langsung, yang masih dibagi lagi menjadi;
    • Undang-undang ( adalah setiap peraturan tertulis yang dibuat oleh badan berwenang dan ditaati oleh setiap warga yang menjadi masyarakat itu - badan berwenang disini adalah legislatif dan eksekutif- ).
      • Undang-undang dibagi lagi menjadi UU dalam arti formil (adalah keputusan penguasa yang diberi nama Undang undang (UU) disebabkan bentuk yang menjadikan UU.
      • dan Undang-undang dalam arti materil (keputusan penguasa yang dilihat dalam segi dan isinya mempunyai kekuatan mengikat umum) UU dalam arti materil berbentuk keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat berwenang yang berisi aturan yang bersifat mengikat umum.
      • UU materil dilihat dari sudut isinya yang mengikat umum, UU formil dilihat dari segi pembuatan dan bentuknya.
    • Kebiasaan dan Adat
      • kebiasaan merupakan pola tindak yang berulang mengenai suatu hal / peristiwa yang sama / memiliki kesamaan yang terjadi dalam masyarakat dan bidang kegiatan tertentu, bila kebiasaan tersebut oleh masyarakat telah dianggap sebagai suatu yang mengikat maka timbul kaidah hukum yang bersumber dari kebiasaan. (harus memenuhi syarat yaitu; suatu perbuatan terus menerus dilakukan, kegiatan itu dirasa sebagai suatu kewajiban–peraturan yang diterima masyarakat(opinio necessitas)).
    • Adat
      • merupakan perbuatan yang terus dilakukan dan dirasa sebagai suatu kewajiban, syaratnya yaitu (turun temurun, mempunyai sifat yang suci).
    • Traktat/treaty/perjanjian antar negara
      • merupakan perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau lebih dan mengikat antara negara yang melakukan perjanjian tersebut, berlaku prinsip pacta sunt servanda yang berarti setiap perjanjian wajib ditepati.
2. b. Sumber hukum tidak langsung
    • meliputi, Yurisprudensi / keputusan hakim
      • adalah keputusan hakim yang tertinggi yaitu Mahkamah Agung (MA), yang diikuti oleh hakim-hakim di pengadilan lainnya mengenai kasus yang hampir sama. Yurisprudensi dapat merupakan sumber hukum formal karena didasarkan pada suatu kenyataan bahwa sering terjadi hakim memutuskan suatu perkara berdasarkan keputusan yang telah ada.
3.b Sumber hukum yang pembentukannya abnormal;
    • meliputi Coup d’etat dan hukum yg dibuat penjajah
2. Sumber Hukum Materil
  • sumber hukum materil lebih kepada suatu usaha pendalaman teoritis tentang hukum karena jawabannya tergantung pada pendekatan yang kita gunakan apakah itu pendekatan sejarah, falsafah, sosiologi, agama, ekonomi, dan hukum itu sendiri, pragmatis atau kombinasi dari pendekatan tersebut.
Nah setelah tau mengenai beberapa uraian diatas mengenai definisi hukum, pengertian norma, norma hukum, macam hukum, dan sumber hukum, selanjutnya akan dibahas mengenai pengertian hukum.
Ada beberapa pengertian mengenai hukum, yaitu :
  1. Subjek hukum, merupakan orang dan badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban. Oleh karenanya kita sebagai masyarakat jika dilihat dalam konteks individu, kita sebenarnya adalah termasuk sebagai subjek hukum, dengan segala hak dan kewajiban yang selalu ada pada kita.
  2. Objek hukum, merupakan segala sesuatu yang bermanfaat bagi subjek hukum, dapat dikuasai oleh subjek hukum, dan dapat dijadikan pokok objek dalam suatu hubungan hukum,
  3. Peristiwa hukum, merupakan peristiwa kemasyarakatan yang yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.

Belajar Hukum Itu Asyik !

Belajar Hukum Itu Asyik !

WELCOME PEOPLE :

Selamat datang kawan di blog saya. Blog ini memiliki tujuan agar kawan-kawan sekalian mengerti betul mengenai hukum di Indonesia. Pertama marilah kita jauhkan deh pandangan negatif tentang hukum walaupun memang dari segi fakta lapangan banyak penegak hukum yang menyimpang dari yang namanya HUKUM itu sendiri.
Saya sangat yakin bahwa KEADILAN danKEBENARAN masih bisa kita peroleh jika kemudian para mahasiswa hukum mengerti untuk apa hukum itu ada? Maka dari itu, blog ini hadir untuk menjadi wadah bagi para mahasiswa hukum yang benar-benar serius ingin mengubah negara kita yang bisa dikatakan HUKUM DI INDONESIA SEDANG BERADA DI UJUNG TANDUK. Ya.. Memang demikian.. Karena Hukum kita sedang didorong agar jatuh dan tidak memiliki kemampuan untuk melindungi kepentingan masyarakat terutama rakyat kecil. Sudah banyak contoh kasus-kasusnya, mbah minah misalnya. Saya percaya bahwa tulisan memiliki suatu kekuatan yang dapat memiliki dampak perubahan, apalagi tulisan mengenai suatu bidang ilmu yang juga memberikan tambahan wawasan dan sesuatu untuk dikaji bersama.
Tapi yang terpenting sekarang bagaimana caranya agar Hukum di indonesia kita tidak lagi berada di ujung tanduk, melainkan berdiri tegak kokoh dengan pondasi yang kuat yakni dengan menumbuhkan kesadaran dan keikutsertaan masyarakat untuk menegakkan hukum.. Simpel, kita mulai dari hal kecil dengan menyeberang di zebra cross, atau menggunakan helm saat berkendara motor, dan terutama membayar pajak. he he he..
Selain itu perlu diingat tolong yah kawan-kawan mulai menghapus paradigma bahwa orang hukum kerjaannya menghafal pasal. eitss.. Salah Besar! Mengkaji pasti, tapi menghafal tidak. Soal mau menghafal atau tidaknya itu terserah kamu aja. Toh ujian ga bakal ditanya: sebutkan isi pasal 362 di dalam KUHP secara lengkap beserta titik koma yang sesuai!
Ok, segitu dulu pembukaannya…! selamat membaca yah Kawand! Salam Hukum !!!

Hukum Adat tidak mengenal Asas Legalitas

Berlainan dengan hukum kriminal Barat, hukum Adat tidak mempunyai sistem pelanggaran yang tertutup. Hukum adat tidak mengenal sistem “prae-existente regels”, artinya tidak mengenal sistem pelanggaran hukum yang ditetapkan terlebih dahulu sebagaimana dalam “asas legalitas” yang tertuang dalam Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Seluruh lapangan hidup menjadi batu ujian perihal apa yang dilarang dan apa yang dibolehkan. Tiap-tiap perbuatan atau tiap-tiap situasi yang tidak selaras dengan atau yang memperkosa keselamatan masyarakat, keselamatan golongan famili atau keselamatan teman semasyarakat (anggota famili, dan sebagainya), dapat merupakan pelanggaran hukum.
Dengan demikian maka di dalam hukum Adat, suatu perbuatan yang tadinya tidak merupakan delik adat, pada suatu waktu dapat dianggap oleh hakim atau oleh kepala adat sebagai perbuatan yang menentang tata tertib masyarakat sedemikian rupa, sehingga dianggap perlu diambil upaya adat (adatreaksi) guna memperbaiki hukum.

Hukum Itu Ilmu Atau Bukan ?

1.   Pendahuluan
Apabila dikaji secara intern, detail dan terperinci maka ilmu hukum merupakan salah satu dari suatu bidang hukum. Tegasnya, jikalau dijabarkan lebih jauh pada hakiatnya ilmu hukum tidaklah identik dengan hukum oleh karena untuk menjadi hukum bukan harus selalu lahir dari proses pengembangan ilmu hukum. Dengan lain perkataan yang sederhana dapatlah diasumsikan bahwa setiap ilmu hukum itu akan berubah menjadi hukum apabila melalui proses keadilan masyarakat.
Dalam perkembangannya, apabila ditinjau dari optik konsep ilmu maka secara konseptual ilmu hukum identik dengan ilmu-ilmu lainnya. Akan tetapi jikalau konsep ilmu dalam ilmu hukum dipandang sebagai konsep yang khas dan berbeda dengan konsep umum pada ilmu-ilmu alam maka ilmu hukum menjadi suatu ilmu yang khas dan khusus oleh karena penerapan metode ilmu-ilmu alam dalam ilmu hukum menjadikan ilmu hukum dapat diklasifikasikan ke dalam ilmu sosial. Selain dari aspek tersebut dalam bangun yang lain maka kerap kali ilmu hukum dikategorikan ke dalam ilmu humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Aspek ini terjadi oleh karena ilmu hukum bersifat manusiawi dimana sifat kemanusiaan dari ilmu hukum terlihat dari metode penemuan hukum. Tegasnya, sifat konkrit dan individual mengakibatkan metode penemuan hukum mengarah pada manusia. Apabila ditelusuri mengenai latar belakang  penempatan ilmu hukum ke dalam humaniora oleh karena dari aspek ini ilmu hukum tidak lepas dan  berkolerasi dari agama. Menurut pandangan yahudi misalnya, Taurat dianggap sebagai hukum. Begitu pula halnya dalam agama Islam maka Al-qur’an adalah salah satu sumber hukum. Dengan demikian maka pemahaman terhadap kitab suci sebagai sumber hukum dilakukan suatu penafsiran. Maka oleh karena itu sejak timbulnya negara bangsa, menimbulkan peraturan di mana dalam ilmu hukum metode penafsiran tetap dipergunakan seperti dalam hukum yang berdasarkan agama.
Dengan titik tolak demikian akan menimbulkan pertanyaan fundamental yakni apakah ilmu hukum dapat dikategorikan sebagai ilmu ataukah tidak? Terhadap aspek ini dapat dilihat dari 2 (dua) titik pandang. Pertama, di satu pihak menurut aliran  positivistik maka ilmua hukum harus dipisahkan hubungan antara hukum dengan moral sehingga ilmu hukum itu bukanlah ilmu oleh karena hanya sosiologi hukum empirik dan teori hukum empirik dalam arti sempit sebagai ilmu. Sedangkan yang lainnya ternmasuk keahlian hukum terdidik (rechtsgeleerdheid) .Kedua, di lain pihak menurut aliran normatif maka hendaknya dipisahkan antara korelasi hukum dan moral sehingga tiap teori hukum dalam arti luas dapat menjadi ilmu.
Aspek ini lebih rinci dan lugas ditegaskan oleh J.J.H. Bruiggink dengan redaksional sebagai berikut:
“Hanya sosiologi hukum empirik dan teori hukum empirik dalam arti sempit yang dapat disebut ilmu berdasarkan kretarium positivistik. Kegiatan sosiologi hukum kontemplatif, dogmatika hukum (atau ilmu hukum dalam arti sempit). Teori hukum kontemplatif dalam arti sempit dan filsafat hukum harus dipandang sebagai bukan ilmu hukum, melainkan sebagai “rechtsgeleerdheid” (Keahlian hukum terdidik atau kemahiran hukum terdidik), setidak-tidaknya demikian menurut pandangan positvistik. enurut pandangan normatif, tiap teori hukum (dalam arti luas) dapat memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan bagi ilmu, sehingga tiap cabang teori hukum (dalam arti luas) dapat menyandang gelar “ilmu”.[2]
Dengan mengacu kepada aliran normatif maka ilmu hukum dapat diklasifikasikan sebagai ilmu. Oleh karena ilmu hukum adalah dalam ruang lingkup ilmu maka dalam perkembangan ternyata timbul 2 (dua) kecenderungan  ilmu hukum, yaitu:
  1. Kecenderungan pertama ilmu hukum ternyata terbagi dalam bidang yang seolah-olah berdiri sendiri-sendiri seperti adanya pembidangan Ilmu Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Perdata, dan lain-lain. Konsekuensi pembagian yang demikian mempunyai kecenderungan seolah-olah masing-masing berdiri sendiri. Dengan demikian kecenderungan ini membentuk ilmu hokum ke dalam ilmu yang bersifat normatif, empiris dan sosiologi. Lazimnya dengan dimensi demikian ini membawa pengaruh terkadang para penganut ketiga bidang ilmu hukum tersebut saling menafikan antara satu dengan lainnya.
  2. Kecenderungan kedua menimbulkan prediksi ternyata ilmu hukum menumpang pada bidang ilmu lain sehingga menimbulkan wajah dimana ilmu hukum merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri dan unik. Aspek ini nampak terlihat ada pandangan yang menganalogikan ilmu hukum dengan sosiologi hukum dan antropologi hukum.
Oleh karena itu, secara konkret dengan kecenderungan demikian mengakibatkan Ilmu Hukum menjadi disintegrasi. Padahal pada dewasa ini seharusnya ilmu hukum harus bersifat Integratif adalah suatu kebutuhan yang nampaknya merupakan keharusan ditinjau dari aspek ontologis, epistemologis dan axiologis, Anasir ini parallel dengan pendapat Sugijanto Darmadi bahwa:
“Adanya ilmu hukum yang bersifat integratif merupakan suatu kebutuhan. Kita dapat melihat adanya kelemahan dalam metode normatif, metode empiris maupun  metode filosofi. Kita juga dapat melihat adanya kelemahan antara ilmu hukum yang murni teoritis semata-mata atau ilmu hokum yang terapan semata-mata. Jadi adanya kecenderungan tersebut mengakibatkan aanya disintegrasi dalam ilmu hukum secara ontologis, epistemologis mapun axiologis”.[3]
Oleh karena ilmu hukum hendaknya bersifat integratif maka dari aspek ontologi, ilmu hukum pada hakikatnya akan menjawab apakah titik tolak kajian subtansial dari ilmu hukum. Sedangkan dari aspek epistemologi ilmu hukum akan menjawab bagaimana mendapatkan kebenaran dengan melalui metode ilmu hukum dan axiologi akhirnya akan menjawab kegunaan dari ilmu hukum itu sendiri. Maka dengan latar belakang demikian dan kolerasi antara ontologi, epistemologi dan axiologi tersebut artikel ini akan mengkaji lebih intens, detail dan terperinci bagaimana ilmu hukum dikaji dari aspek ontologi ilmu, epistemologi ilmu dan dikaji dari aspek axiologi ilmu.


II. Pembahasan Ilmu Hukum Dikaji Dari Aspek Ontologi, Epistemologi dan Axiologi Ilmu
     1. Dari Aspek Ontologi Ilmu
Pada dasarnya, menurut Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab bebrapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti :
“obyek apa yang ditelaah ilmu ? bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut ? bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan ?[4]
Konkritnya, bidang telaah sebagaimana konteks diatas merupakan bidang Ontologi Ilmu. Apabila konteks tersebut dapat dikorelasikan dengan Ilmu Hukum maka bidang Ontologi Ilmu Hukum pada hakikatnya akan menjawab pertanyaan apakah titik tolak kajian substansial dari Ilmu Hukum.
Sebagaimana diketahui bersama bahwasanya menurut pandangan doktrina seperti E. Ultercht, Van Apeldoorn, Prof. Van Kant, Kusunadi Pudjosewoyo dan lain-lain maka pada dasarnya Hukum merupakan sebuah aturan yang harus ditaati oleh anggota masyarakat dan pelanggaran terhadapnya akan mendapat sanksi.
Oleh karena itu, menurut Penulis dengan titik tolak teoritik sebagaimana pandangan doktrina dan aspek praktek pada dunia peradilan maka secara Universal ada 3 (tiga) aspek yang dipelajari dari Ilmu Hukum, yaitu :
a).  Nilai-nilai hukum seperti ketertiban, keadilan, kepastian hukum dan lain-lain.
Apabila aspek ini dijabarkan secara singkat dapatlah diasumsikan bahwa                 “ nilai-nilai hukum “ ini merupakan bidang kajian Filsafat Hukum yang abstrak/teoritis.
b).  Kaidah-kaidah hukum berupa kaidah tertulis ataupun tidak tertulis, kaidah bersifat abstrak maupun konkret.
Pada dasar “ kaidah-kaidah hukum “ ini dikaji oleh bidang yang disebut ilmu tentang kaidah (Normwissenschaft).
c).  Perilaku hukum atau kenyataan/peristiwa hukum.
Singkatnya, konteks ini dikaji oleh Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Logika Hukum, Psikologi Hukum dan Sejarah Hukum yang menjembatani aspek abstrak/teoritis seperti : Rechts Filosofie, Rechts theorie dan Rechts Dogmatiek dengan aspek imperis/nyata yang merupakan kajian Recht en Rechtspratijkheid.            
Dengan 3 (tiga) bidang dari Ilmu Hukum tersebut menimbulkan pertanyaan tentang apakah titik tolak kajian substansial dari Ilmu Hukum melalui Optik Ontologi Ilmu. 
Ternyata dari Optik Ontologi maka kajian substansial Ilmu Hukum terletak pada “Kaidah-kaidah Hukum“. Tegasnya, Ilmu Hukum tidak mungkin dapat dipisahkan dari kaidah Hukum. Tetapi dalam korelasi demikian ini persoalannya timbul dalam posisi dan situasi kaidah hukum yang bagaimana menjadi perhatian dari Ilmu Hukum. Seperti diuraikan konteks diatas maka Sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum mempelajari perilaku hukum sebagai kenyataan hukum (Taatschachen Wissenchaft). Kedua bidang Ilmu Hukum ini yaitu sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum tidak dapat melepaskan diri dari adanya kriteria bahwa perilaku atau kenyataan itu bersifat normative. Ciri kaidah hukum nampak dengan adanya legitimasi dan sanksi. Pada dasarnya legitimasi menjadikan bahwa suatu hal yang akan menjadi kaidah itu disahkan oleh kewibawaan tertentu sedangkan sanksi menjadikan suatu hal yang akan menjadi kaidah hukum itu bila dilanggar menimbulkan adanya sanksi. Tanpa  terbagi-bagi ke dalam bidang-bidang kajian, Ilmu Hukum dengan senirinya sudah mengkaji nilai, kaidah dan perilaku. Sedangkan perbedaan antara satu kajian dengan kajian lainnya adalah kadar, intensitas atau derajat diantara ketiga hal itu. Acapkali yang dipentingkan adalah bidang perilaku, terhadap nilai atau kaidah seperti Sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum misalnya lebih menekankan pengkajian perilaku hukum. Akan tetapi yang perlu menjadi titik tolak bidang kajian Ilmu Hukum adalah Kaidah Hukum yang berhubungan dengan nilai dan perilaku. Kaidah Hukum dapat ditentukan dalam dunia nyata sebagai hukum yang hidup berupa perilaku hukum dan terbentuk karena interaksi sesama manusia sehingga kaidah hukum menjadi fakta empiris.
Pada dasarnya, menurut J.J.H. Bruggink[5] perintah perilaku, yang mewujudkan isi kaidah itu dapat menampilkan diri dalam berbagai wajah/sosok. Penggolongan yang paling umum adalah :
a.      Perintah (Gebod) adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu ;
b.      Larangan (Verbod) adalah kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu ;
c.       Pembebasan (Vrijstelling, dispensasi) adalah pembolehan (Verlof) khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan ; dan
d.     Izin (toestemming, permisi) adalah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.
Selain  dari spek tersebut diatas maka kaidah hukum dapat juga ditentukan dalam hukum yang tercatat/terdokumentasikan seperti : hasil-hasil penelitian Hukum adat, penilaian ahli hukum, pandangan doktrina tentang hukum, pandangan filosofi seorang filsuf dan lain sebagainya.
Begitu pula kaidah hukum dapat ditemukan dalam hukum tertulis seperti : UU, Yurisprudensi, Keputusn Pemerintah Pusat/Daerah dan lain sebagainya. Kaidah hukum dapat pula ditemukan dalam kitab-kitab suci, ada kemungkinan hukum yang tercatat/tertulis berasal dari kenyataan hukum, tetapi pembentukannya bersifat rasional. Pembentuknya (seperti DPR/D, Kepala daerah, dan lain-lain) mempunyai kepentingan tertentu atau mempunyai pandangan tertentu yang cukup berperanan dalam terbentuknya hukum tersebut. Adanya kepentingan/pandangan tertentu turut dipertimbangkan mengakibatkan fakta empiris akan menjadai hukum setelah diolah secara rasional. Dalam pembentukan hukum yang terbentuk tidak berasal semata-mata dari kebiasaan tetapi timbul berdasarkan suatu pertimbangan dari pihak berwibawa sehingga anggota masyarakat patuh. Hukum yang hidup (living Law) tidak bisa lepas dari pertimbangan pihak yang berwibawa. Pihak yang berwibawa sudah tentu mempertimbangkan perkara sesuai dengan kebiasaan yang sudah membiasa, serta sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat.
Dengan demikian ditinjau dari deskripsi diatas dapatlah ditarik 2 (dua) asumsi dasar, yaitu : Pertama, bahwasanya kaidah hukum dapat ditemukan dalam hukum tertulis dan tercatat. Kedua, bahwasanya pembentukan hukum yang hidup tidak lepas dari legitimasi kewibawaan yang mengakibatkan adanya pertimbangan nilai, maka dapat disimpulkan bahwa kaidah hukum tidak semata-mata terlihat berupa fakta empiris tetapi juga berupa hal rasional. Hukum tidak bisa diindetikkan begitu saja dengan fakta empiris yang alamiah dan fisik serta dapat diserap dengan panca indera. Hukum bersangkutan dengan manusia yang secara utuh bersosok monodualistis antara jiwa dan badan, individu dan masyarakat. Kaidah hukum berintikan keadilan. Adil dan tidak adil merupakan pendapat mengenai nilai secara pribadi. Kaidah hukum bersangkutan dengan martabat manusia (human dignity), bagaimana manusia terlindungi dari kesewenang-wenangan, bebas dari rasa takut dan lain-lain dan ini merupakan aspek personal dari hukum. Sedangkan terhadap pernyataan bahwa kaidah hukum berlaku bagi siapapun dan kapanpun, pedoman bagi anggota masyarakat bertingkah laku, dan untuk memperhatikan kaidah hukum tersebut dibentuklah pranata hukum dan lembaga hukum, adalah merupakan aspek sosial dari kaidah hukum.
Aspek personal dan aspek sosial dari kaidah hukum itu sepertinya saling bertentangan satu sama lainnya seperti tidak saling mendukung. Usaha-usaha untuk mempertemukan antara keduanya dapat disebut usaha kultural. Tegasnya bahwa proses pembentukan dan penerapan kaidah hukum dimana hubungan timbal balik aspek personal dan aspek sosial merupakan proses berbudaya sehingga proses integrasi antara pribadi masyarakat dan kebudayaan merupakan inti diatur dari kaidah hukum yang secara substansial titik tolak kajian dari Ilmu Hukum.
Demikian deskripsi bagaimana ilmu hukum dikaji dari aspek Ontologi Ilmu.

2.   Dari Aspek Epistemologi Ilmu
Bagaimanakah Ilmu Hukum apabila dikaji dari aspek Epistemologi Ilmu? Akan tetapi sebelum mengkajinya, penulis memandang perlu kiranya dibahas selintas pengertian “Epistemologi” ini. Ditinjau aspek etimologi maka epistologi berasal dari bahasa Yunani yang merupakan kata gabungan dari kata episteme dan logos, Episteme artinya pengetahuan dan logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Sehingga secara mudah epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan.
Selanjutnya, menurut A.M.W. Pranarka menyebutkan, bahwa menurut:
“Webster Third New International Dictionary mengartikan epitemologi sebagai “the study of methol and grounds of knowledge, especially with reference to its limits and validity”. Pada tempat yang sama secara singkat dikemukakan bahwa Runnes didalam “The theory of  knowledge”. Dalam pada itu  Runnes didalam Dictionary of Philosophy memberikan keterangan bahwa epistemology merupakan the bronch of philosophy which investigates the origin, structure methode an validity of knowledge”.[6]
Selain itu secara terminologis, maka Epistemologi dikenal dengan istilah “Gnoseologi”, kemudian dalam bahasa Jerman diterjemahkan menjadi “Erkentnistheorie”. Di dalam bahasa Belanda dikenal istilah “Kennisteer”ataupun “Kenttheorien”.
Dari apa yang diuraikan diatas maka ditinjau melalui aspek Ilmu Hukum secara etimologi akan menjawab kebenaran dengan melalui metode Ilmu Hukum.
Pada dasarnya, apabila ilmu hukum sebagai ilmu maka bertujuan mencari kebenaran. Menurut Theori Korespodensi kebenaran merupakan persesuaian, antara pengetahuan dan obyeknya. Sehingga dengan demikianpengetahuan terletak dalam dimensi mentalitas manusia, sedangkan obyek dalam dunia nyata. Untuk menyatakan adanya hubungan inilah timbul pendapat antara faham empiris dan rasionalisme. Menurut empirisme pengetahuan adalah segenap pengalaman manusia, sedangkan menurut faham rasionalisme maka akallah/ratiolah yang dapat mengetahui obyek. Akan tetapi, terhadap hakekat hukum tidak selalu berdasarkan empirisme/rasionalisme saja oleh karena gejala hukum bukan saja berupa pengalaman manusia saja seperti perilaku hukum akan tetapi diluar pengalaman manusia seperti nilai-nilai hukum. Theori Kebenaran korespodensi dan pramatiklah yang dapat dicapai ilmu hukum. Maka untuk itu guna  mencari keadilan yang benar digunakanlah sebuah metode. Oleh karena itu, sebagai pengaruh adanya kebenaran empirisme dan rasionalisme maka secara tradisional dibedakan dua metode ilmu yakin metode deduksi dan metode induksi. Selanjutnya, dalam perkembangannya timbul metode yang berusaha menggabungkan deduksi dan induksi, yaitu metode logiko – hipotetiko – verifikasi yang berdasarkan pandanganKarl R. Popper muncul theori faksifikasi. Dalam metode ini maka suatu masalah berusaha dipecahkan oleh pelbagai disiplin baik yang termasuk deduktif atau induktif. Istilah “ Logiko – hipotetiko “ menempatkan kaidah hukum sebagai hal mentah yang perlu dimasukkan ke dalam proses “Verifikasi” cenderung menjadi justifikasi/pembenaran. Dengan mengadakan verifikasi, maka sebab itu menurut Popper bukan verifikasi yang menjadi kretarium demarkasi antara ilmu dan bukan ilmu tetapi ialah faksifikasi yakni kemampuan untuk menyangkal kesalahan. Dengan demikian Popper mengganti verifikasi bersifat induktif dengan falsifikasi deduktif.
Konkretnya, metode ilmu Hukum ditentukan oleh aspek Ontologis dan Axiologis dari hukum. Konsep mengenai metode dan ilmu sifatnya universal. Artinya, untuk bidang apa saja atau untuk jenis ilmu manapun adalah sama, tetapi pengaruh dari obyek suatu ilmu tentu tidak dapat dihindarkan. Sebab itu hakikat hukum dan fungsinya dalam praktek tak bisa dihindari pengaruh dalam menentukan metode yang digunakan dalam ilmu hukum.
Sebagaimana telah diuraikan dari aspek Ontologi maka fokus utama titik kajian substansial Ilmu Hukum adalah kaidah hukum. Tegasnya, eksistensi hukum ditentukan adanya kaidah hukum. Mungkin kaidah hukum mempunyai nilai/perilaku, tetapi nilai/perilaku itu dapat saja bukan hukum. Ciri pokok dari nilai dan perilaku sebagai hukum ialah sifat normatifnya. Sudah tentu kaidah hukum berisi nilai-nilai dan perilaku manusia. Konkretnya, hukum itu merupakan jalinan kesatuan antara kaidah, nilai dan perilaku. Nilai merupakan turunan dari ide dan perilaku merupakan turunan realitas/fakta. Apabila kita mencita-citakan suatu ilmu tentang hukum/ilmu hukum maka penentuan metode Ilmu Hukum harus ditentukan prinsip intergralistis atau berjalinan kesatuan antara kaidah, nilai dan perilaku. Pada kaidah hukum tersirat antara nilai dan perilaku sehingga fokus sentral atau fundamental metode Ilmu Hukum adalah analisis atas kaidah. Sedangkan analisis nilai dan perilaku hanya bahan kajian sampingan dari analisis kaidah. Maka oleh karena itu secara ideal dalam Ilmu Hukum dari visi epistemologis mempergunakan metode logika-hipotetiko-verifikasi.

3.   Dari Aspek Axiologi Ilmu
Menurut Jujun S Suriasumantri maka ditinjau dari aspek axiologi membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
“Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral ? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana  kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/referisonal ?”6
Konkritnya, dari aspek tersebut Axiologi Ilmu Hukum akan berkoleratif terhadap kegunaan dari Ilmu Hukum itu sendiri. Sebagaimana diketahui bersama bahwasanya Ilmu Hukum bersifat dinamis dalam artian mempunyai pengaruh dan fungsih yang khas dibanding dengan bidang-bidang hukum yang lain.
Apabila dijabarkan secara intens, detail dan terperinci maka peran/pengaruh Ilmu Hukum tersebut dari aspek Axiologi Ilmu adalah sebagai berikut :
Pertama, dalam proses pembentukan hukum Ilmu Hukum melalui hasil-hasil penelitian, kajian teroritik dari para doktrina sebagai bahan masukan yang penting dalam rangka menjadi masukan untuk menyusun RUU (Rancangan Undang-Undang) sehingga diharapkan nantinya Undang-Undang yang diterapkan dapat berfungsi maksimal karena telah memenuhi analisis, filosofis, yuridis dan sosiologis;
Kedua,      dalam praktek hukum lazim pada proses peradilan oleh hakim, jaksa/Penuntut Umum, Penasehat Hukum dipergunakan pendapat para doktrina untuk menyusun putusan, tuntutan dan pembelaan. Dari aspek ini merupakan perpaduan antara dunia teori dan dunia praktek;
Ketiga    Ilmu hukum juga dapat berpengaruh untuk pendidikan hukum baik yang bersifat formal dan informal serta untuk jangka panjang akan berpengaruh kepada mutu pendidikan hukum dan lulusannya dan;
Keempat,             Bahwa dengan pesat dan majunya Ilmu Hukum akan menarik, memacu dan berpengaruh kepada perkembangan bidang-bidang lainnya diluar hukum. Peranan Ilmu Hukum disini nampak kepada bidang-bidang yang memerlukan suatu kejelasan dan pengaturan dimana suatu sistem hukum berusaha mengatur bidang yang bersifat progresif dan interventif;
Sedangkan fungsi Ilmu Hukum dari aspek Axiologi Ilmu nampak dalam:
PertamaBahwa Ilmu hukum berusaha mensistemasi bahan-bahan hukum yang terpisah-pisah secara komprehensif dalam suatu buku hukum seperti: Kondefikasi, Unifikasi dan lain-lain;
Kedua,      Bahwa adanya fungsi Ilmu Hukum yang mendeskripsikan pertimbangan-pertimbangan dan diperlukan oleh bidang-bidang lain serta sehingga sebagai pencerahan guna mengatasi kesulitan dan kebuntuan yang meluas dalam dunia hukum khususnya terhadap Ilmu Hukum yang bersifat legalitas;

III. Konklusi
       Dikaji dari perspektif Ontologi Ilmu Hukum maka Ilmu Hukum menetapkan kajian substansial kepada kaidah-kaidah hukum tertulis ataupun tidak tertulis maupun kaidah bersifat abstrak ataupun kontrit sedangkan dari aspek Epistemologi Ilmu maka Ilmu Hukum menetapkan kajian fundamental kepada aspek kebenaran dengan theori Kebenaran (The Correspondence Theory of  Truth) dan Theori Kebenaran Pragmatik (The Pragmatic Theory of  Truth) serta dengan metode Logika – hipotetika – verifikasi dan ditinjau dari aspek Axiologi Ilmu maka Ilmu Hukum mempunyai 4 (empat) pengaruh pendidikan hukum dan untuk bidang-bidang lainnya serta mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu fungsi sismatisasi fungsi pertimbangan dan pencerahan terhadap kebekuan yang melanda dunia hukum. Oleh karena demikian maka disarankan Ilmu Hukum harus bersifat integratif Pasca globalisasi oleh karena apabila tidak bersifat integratif akan mengakibatkan adanya disintegrasi dalam Ilmu Hukum secara Ontologis, Epistemologis maupun Axiologis dan untuk mencegah adanya disintegrasi dalam Ilmu Hukum maka perlu ditumbuhkembangkan iklim Integritas dalam diri para ahli teoritik dan praktik.